ABOUT
KOTAMOBAGU
Kota
Kotamobagu adalah salah satu kota di provinsi Sulawesi Utara, Indonesia.
Kota ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2007 pada tanggal 2
Januari 2007. Jumlah penduduk dari hasil registrasi pada tahun 2012, yaitu
sebesar 108.794 yang terdiri dari penduduk laki-laki 55.415 dan penduduk
perempuan 53.379 jiwa. Sumber pendapatan utama kota ini adalah padi dan jagung.
PDRB Kota Kotamobagu atas dasar harga konstan 2000=100 pada tahun 2011adalah
sebesar Rp. 506,39,- Milliar.
Kota Kotamobagu merupakan hasil pemekaran dari
Kabupaten Bolaang Mongondow yang bertujuan untuk memajukan daerah, membangun
kesejahteraan rakyat, memudahkan pelayanan, dan memobilisasi pembangunan bagi
terciptanya kesejahteraan serta kemakmuran rakyat totabuan. Desa Bolaang
terletak di tepi pantai utara yang pada abad 17 sampai akhir abad 19menjadi
tempat kedudukan istana raja, sedangkan desa Mongondow terletak sekitar 2 km
selatan Kotamobagu. Nama Bolaang berasal dari kata "bolango" atau
"balangon" yang berarti laut. Bolaang atau golaang dapat pula berarti
menjadi terang atau terbuka dan tidak gelap, sedangkan Mongondow dari kata
‘momondow’ yang berarti berseru tanda kemenangan.
Penduduk asli wilayah Bolaang Mongondow
berasal dari keturunan Gumalangit dan Tendeduata serta Tumotoibokol dan
Tumotoibokat, yang awalnya tinggal di gunung Komasaan (Bintauna). Pada abad ke
8-9, mereka menyebar ke timur di tudu in Lombagin, Buntalo, Pondoli',
Ginolantungan sampai ke pedalaman tudu in Passi, tudu in Lolayan, tudu in Sia',
tudu in Bumbungon, Mahag, Siniow dan lain-lain.
Setiap kelompok keluarga dari satu
keturunan dipimpin oleh seorang Bogani (laki-laki atau perempuan) yang dipilih
dari anggota kelompok dengan persyaratan : memiliki kemampuan fisik (kuat),
berani, bijaksana, cerdas, serta mempunyai tanggung jawab terhadap
kesejahteraan kelompok dan keselamatan dari gangguan musuh. Mokodoludut adalah
punu’ Molantud yang diangkat berdasarkan kesepakatan seluruh bogani.
Mokodoludut tercatat sebagai raja (datu yang pertama). Sejak Tompunu’on pertama
sampai ketujuh, keadaan masyarakat semakin maju dengan adanya pengaruh luar
(bangsa asing). Perubahan total mulai terlihat sejak Tadohe menjadi Tompunu’on,
akibat pengaruh pedagang Beland diubah istilah Tompunu’on menjadi Datu (Raja).
Tadohe dikenal seorang Datu yang cakap, sistem bercocok tanam diatur dengan
mulai dikenalnya padi, jagung dan kelapa yang dibawa bangsa Spanyol pada masa
pemerintahan Mokodompit (ayah Tadohe). Tadohe melakukan penggolongan dalam
masyarakat, yaitu pemerintahan (Kinalang) dan rakyat (Paloko’). Paloko’ harus
patuh dan menunjang tugas Kinalang, sedangkan Kinalang mengangkat tingkat
penghidupan Paloko’ melalui pembangunan di segala bidang, sedangkan kepala desa
dipilih oleh rakyat.
Pada zaman pemerintahan raja Corenelius
Manoppo, raja ke-16 (1832), agama Islam masuk daerah Bolaang Mongondow melalui
Gorontalo yang dibawa oleh Syarif Aloewi yang kawin dengan putri raja tahun
1866. Karena keluarga raja memeluk agama Islam, maka agama itu dianggap sebagai
agama raja, sehingga sebagian besar penduduk memeluk agama Islam dan turut
memengaruhi perkembangan kebudayaan dalam beberapa segi kehidupan masyarakat.
Pada tanggal 1 Januari 1901, Belanda dibawa pimpinan Controleur Anton Cornelius
Veenhuizen bersama pasukannya secara paksa bahkan kekerasan berusaha masuk
Bolaang Mongondow melalui Minahasa, setelah usaha mereka melalui laut tidak
berhasil dan ini terjadi pada masa pemerintahan Raja Riedel Manuel Manoppo
dengan kedudukan istana raja di desa Bolaang. Raja Riedel Manuel Manoppo tidak
mau menerima campur tangan pemerintahan oleh Belanda, maka Belanda melantik
Datu Cornelis Manoppo menjadi raja dan mendirikan komalig (istana raja) di
Kotobangon pada tahun 1901. Pada tahun 1904, dilakukan perhitungan penduduk
Bolaang Mongondowdan berjumlah 41.417 jiwa.
Pada tahun 1906, melalui kerja sama dan
kesepakatan dengan raja Bolaang Mongondow, W. Dunnebier mengusahakan pembukaan
Sekolah Rakyat dengan tiga kelas yang dikelola oleh zending di beberapa desa;
yakni : desa Nanasi, Nonapan, Mariri Lama, Kotobangon, Moyag, Pontodon, Pasi,
Popo Mongondow, Otam, Motoboi Besar, Kopandakan, Poyowa Kecil dan Pobundayan
dengan total murid sebanyak 1.605 orang, sedangkan pengajarnya didatangkan dari
Minahasa. Pada tahun 1937dibuka di Kotamobagu sebuah sekolah Gubernemen, yaitu
Vervolg School (sekolah sambungan) kelas 4 dan 5 yang menampung lepasan sekolah
rakyat 3 tahun.
Ibukota Bolaang Mongondow sebelumnya
terletak disalah satu tempat di kaki gunung Sia’ dekat Popo Mongondow dengan
nama Kotabaru. Karena tempat itu kurang strategis sebagai tempat kedudukan
controleur, maka diusahakan pemindahan ke Kotamobagu dan peresmiannya diadakan
pada bulan April 1911 oleh Controleur F. Junius yang bertugas tahun 1910-1915.
Pada tahun 1911didirikan sebuah rumah sakit di ibukota yang baru Kotamobagu.
Rakyat mulai mengenal pengobatan modern, namun ada juga yang masih
mempertahankan dan melestarikan pengobatan tradisional melalui tumbuh-tumbuhan
yang berkhasiat obat dan sampai sekarang dibudayakan secara konvensional.
Sejak semula, masyarakat Bolaang
Mongondow mengenal tiga macam cara
kehidupan bergotong royong yang masih terpelihara dan dilestarikan terus sampai
sekarang ini, yaitu : Pogogutat (potolu adi’), Tonggolipu’, Posad (mokidulu).
Tujuan kehidupan bergotong royong ini sama, namun cara pelaksanaaannya agak
berbeda. Penduduk pedalaman yang memerlukan garam atau hasil hutan, akan
meninggalkan desanya masuk hutan mencari damar atau ke pesisir pantai memasak
garam (modapug) dan mencari ikan. Dalam mencari rezeki itu, sering mereka
tinggal agak lama di pesisir, maka disamping masak garam mereka juga membuka
kebun. Tanah yang mereka tempati itulah yang disebut Totabuan yang dapat
diartikan sebagai tempat mencari nafkah. Bila ada tamu yang bertandang pada
masa kerajaan, biasanya disuguhi sirih pinang, tamu pria atau wanita terutama
orang tua. Sirih pinang diletakkan dalam kabela' (dari kebiasaan ini diciptakan
tari kabela sebagai tari penjemput tamu). Tamu terhormat terutama pejabat di
jemput dengan upacara adat. Tarian Kabela sampai saat ini tetap lestari di bumi
Totabuan. Tarian yang ada di Bolaang Mongondow cukup beragam di antaranya
tarian tradisional yang terdiri dari Tari Tayo, Tari Joke', Tari Mosau, Tari
Rongko atau Tari Ragai, Tari Tuitan; juga tarian kreasi baru seperti Tari
Kabela, Tari Kalibombang, Tari Pomamaan, Tari Monugal, Tari Mokoyut, Tari
Kikoyog dan Tari Mokosambe. Upacara monibi terakhir diadakan pada tahun 1939 di
desa Kotobangon (tempat kedudukan istana raja) dan di desa Matali (tempat
pemakaman raja dan keturunannya). Transmigran ke Bolaang Mongondow pertama kali
datang pada tahun 1963 dengan jumlah 1.549 jiwa (349 KK) & ditempatkan di
Desa Werdhi Agung. Para transmigran berikutnya ditempatkan di desa Kembang
Mertha (1964), Mopuya (1972/1975), Mopugad (1973/1975), Tumokang (1971/1972),
Sangkub (1981/1982), Onggunai (1983/1984), Torosik (1983/1984) dan
Pusian/Serasi 1992/1993). lengkapnya lihat hal. 90.
Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Bolaang
Mongondow menjadi bagian wilayah Provinsi Sulawesi yang berpusat di Makassar,
kemudian tahun 1953 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1953 Sulawesi
Utara dijadikan sebagai daerah otonom tingkat I. Bolaang Mongondow dipisahkan
menjadi daerah otonom tingkat II mulai tanggal 23 Maret 1954, sejak saat itu Bolaang
mongondow resmi menjadi daerah otonom yang berhak mengatur rumah tangganya
sendiri berdasarkan PP No.24 Tahun 1954. Atas dasar itulah, mengapa setiap
tanggal 23 Maret seluruh rakyat Bolaang Mongondow selalu merayakannya sebagai
HUT Kabupaten Bolaang Mongondow.
Baguus informatif jadi nilai 4
BalasHapus